Jumat, 26 Februari 2016

Hijrah nya Hijri - part 1

Kalo membayangkan masuk syurga Mu rasanya berat Ya Allah. Tapi, membayangkan masuk neraka Mu lebih tak bisa kubayangkan. Pengen nangis aja bawaannya. Setidaknya aku tak ingin masuk neraka Mu Ya Allah. Tak ingin aku tersentuh oleh neraka Mu. Aku tak ingin. Air mata ku tak mampu ku bendung. Perasaan apa ini. Tiba-tiba datang tanpa ada yang mengundang. Tiba-tiba hinggap tanpa diduga. Rasanya menyesakkan dada. Membuat air mata ku mengalir begitu saja.

ku buka lagi catatan usangku...

30 Agustus 2001
Kalau memang kamu tak ingin aku membagi rasa ini denganmu tak kusalahkan. Biar kutanggung sendiri semua beban batin ini. Dan biarkan kucurahkan melalui tulisan. Biar aku merasakan ini sendiri.
###
Lebaran tahun ini amat berbeda. Ada sesuatu yang amat berharga yang telah hilang dari kehidupanku saat ini. Rasanya ratusan juta rupiah, puluhan kilo berlian tak akan mampu mengembalikan semua yang telah hilang dariku. Harga yang amat mahal. Seandainya kubisa melukiskan persaanku saat ini, mungkin hanya gambar langit gelap yang jelas terlihat. Hati ini begitu sakit tak tahu apa yang harus aku lakukan. Berbagi cerita pada orang sekelilingku pun aku tak mampu. Bukan tak mampu, tepatnya malu. Malu. Malu. Aku hanya bisa menangis mengingat semuanya. Setidaknya air mata yang jatuh meringankan beban batin yang tertahan di dada.
Bagaimana aku menggambarkan perasaanku? sepertinya aku harus merubah diriku sendiri. Mendramatisir keadaan justru akan membuatku lebih sakit dari ini. ucapan-ucapan sayang dan cintamu cukup akan aku simpan dalam hati. Begitu besarnya sayang dan cintaku padamu seiring berjalanya waktu dan melihatmu yang enggan dibagi pilu rasanya akan menguap hilang entah kemana sedikit demi sedikit. Apalagi dengan adanya kejujuran yang mengatakan sesuatu yang amat aku benci. Membuatku tambah kecewa. aku tak berharap lebih. Hidupku sudah ada di genggamanmu. Jika kamu pergi ku pikir hidupku sudah tak hidup dan tak berharga.
Melihat tingkahku saat ini rasanya aku terlalu manja. Aku sekarang sudah mulai tergantung padamu. Cukup aku rasakan semuanya sendiri. Aku memang telah terbiasa sendiri. Apa yang harus aku takutkan. Aku harus biasa sendiri lagi. Tak boleh seperti ini. Aku harap ini awal baru yang akan membuatku kembali tegak berdiri di atas kakiku sendiri tanpa bermanja pada orang lain. Terutama kepada orang yang telah bersedia meluangkan kasihsayangnya untukku. Semoga aku bisa membalas semuanya.
###
Jujur..
Aku amat benci menunggu..
Aku amat membenci Manunda-nunda..
Aku amat menbenci menantimu disini..
Jujur..
Aku amat membenci bayangan yang kulihat di cermin. Bayanganku sendiri. Aku tahu bahwa dunia adalah panggung sandiwara. Dan apakah aku harus bangga menjadi salah seorang dari pemain sandiwara tersebut?.
Aku rasa aku memiliki dua muka. Apakah aku harus bangga memiliki dua muka?. Entahlah. Kupikir betapa munafiknya aku.
Jujur..
Ini amat sangat jujur..

Aku amat membenci kerudung yang kupakai. Aku amat membanci baju takwa yang kamu pakai. Aku amat membenci lagu-lagu nasyid yang sering kamu perdengarkan. Bahkan aku amat membenci semua tingkah lakuku dan tingkah laku kamu yang amat terlihat sopan dan baik di depan semua orang. Sungguh aku membenci semua ini karena semua ini hanya topeng yang menutupi kebusukan kamu dan aku. Kebusukan dua orang yang saling mencintai.


(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar